KabarBijak

Akses Pendidikan Tinggi Bagi Disabilitas Masih Minim dan Solusinya

Pendidikan tinggi inklusif di Indonesia masih minim. Solusi konkret untuk kesetaraan diperlukan.

KamiBijak.com, Infosiana - Perguruan tinggi di Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam menciptakan akses pendidikan yang inklusif bagi mahasiswa penyandang disabilitas. Dengan jumlah perguruan tinggi yang terus bertambah, hanya sebagian kecil yang secara resmi menerima dan mendukung mahasiswa disabilitas dengan fasilitas dan kebijakan memadai. Masalah ini memerlukan perhatian serius dari pemerintah, masyarakat, dan pemangku kepentingan untuk menciptakan kesetaraan dalam akses pendidikan tinggi.

Fakta Minimnya Akses untuk Mahasiswa Disabilitas

Berdasarkan riset Center for Gender Equality, Disability, and Social Inclusion (GEDSI) UNU Yogyakarta bersama University of the West of England, hanya 90 universitas atau 1,99% dari 4.523 perguruan tinggi di Indonesia yang secara resmi menerima mahasiswa disabilitas.

Kurangnya regulasi nasional yang mewajibkan perguruan tinggi menerima mahasiswa disabilitas, kesadaran institusional yang rendah, serta terbatasnya sarana ramah difabel menjadi penyebab utama angka ini. Lebih memprihatinkan lagi, hanya 0,2% perguruan tinggi yang memiliki pusat layanan disabilitas, sehingga mahasiswa difabel sering tidak mendapatkan dukungan yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pendidikan tinggi mereka.

Dampak Minimnya Akses

  • Keterbatasan Karier: Mahasiswa disabilitas yang tidak dapat mengakses pendidikan tinggi kehilangan peluang karir yang lebih baik.
  • Ketidakadilan Sosial: Ketimpangan akses mencerminkan ketidakadilan dalam hak pendidikan.
  • Stigma yang Berkepanjangan: Institusi pendidikan yang tidak inklusif memperparah stigma terhadap penyandang disabilitas.

Langkah Inklusif di UNU Yogyakarta

Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Yogyakarta menjadi salah satu pelopor kampus inklusif di Indonesia. Dalam program penerimaan mahasiswa baru, UNU Yogyakarta membuka jalur khusus bagi penyandang disabilitas dan menyediakan fasilitas berikut:

  • Beasiswa Khusus: Pembebasan biaya kuliah, tunjangan hidup, serta pendanaan peralatan belajar seperti pembaca layar dan buku Braille.
  • Pendampingan Mahasiswa: Melibatkan lebih dari 40 sukarelawan untuk mendukung aktivitas akademik dan non-akademik mahasiswa difabel.
  • Sarana Ramah Difabel: Desain gedung yang aksesibel dan penggunaan teknologi pendukung.

Pendidikan Inklusif di Inggris sebagai Inspirasi

University of the West of England (UWE) di Inggris menjadi contoh penerapan pendidikan inklusif. Di Inggris, 14% mahasiswa di perguruan tinggi merupakan penyandang disabilitas. Layanan UWE meliputi:

  • Pendampingan Khusus: Membantu mahasiswa difabel dalam aktivitas akademik.
  • Teknologi Aksesibilitas: Penyediaan perangkat lunak dan bahan belajar yang ramah difabel.
  • Kurikulum Inklusif: Penyesuaian pembelajaran agar sesuai dengan kebutuhan mahasiswa.

Tantangan di Indonesia, seperti kurangnya dana dan kesadaran institusional, dapat diatasi dengan mengadopsi strategi seperti di Inggris, termasuk pelatihan staf dan investasi dalam perangkat aksesibilitas.

Rekomendasi untuk Meningkatkan Akses

  1. Regulasi Nasional: Pemerintah harus mewajibkan jalur penerimaan khusus bagi mahasiswa disabilitas, seperti standar aksesibilitas di Australia atau insentif finansial di Inggris.
  2. Peningkatan Fasilitas: Investasi dalam infrastruktur dan teknologi ramah difabel.
  3. Pelatihan Khusus: Melatih staf dan dosen agar mampu memenuhi kebutuhan mahasiswa difabel.
  4. Edukasi Publik: Mengedukasi masyarakat untuk mendukung kesetaraan dalam pendidikan.

Kesimpulan

Minimnya perguruan tinggi yang menerima mahasiswa disabilitas mencerminkan tantangan besar dalam akses pendidikan di Indonesia. Namun, langkah-langkah seperti yang dilakukan UNU Yogyakarta menunjukkan bahwa inklusivitas bisa terwujud dengan kerja sama lintas sektor. NGO, swasta, dan masyarakat juga perlu berperan aktif dalam mendukung akses pendidikan tinggi bagi difabel. (Restu)

Sumber: mediaindonesia.com