Hiburan

Dolphin Assisted Therapy: Antara Harapan dan Fakta Ilmiah dalam Dunia Autisme

Terapi dengan bantuan lumba-lumba atau Dolphin Assisted Therapy (DAT) kerap dikaitkan dengan anak autisme. Benarkah efektif?

KamiBijak.com, Hiburan -  Setiap 14 April, kita memperingati Hari Lumba-Lumba Nasional, sebuah momentum untuk menghargai mamalia laut yang cerdas, bersahabat, dan seringkali jadi sahabat terapi bagi manusia. Salah satu metode terapi yang populer dan cukup kontroversial adalah Dolphin Assisted Therapy (DAT), terutama bagi anak-anak dengan spektrum autisme.

DAT merupakan bentuk dari animal-assisted therapy (AAT), yaitu terapi yang melibatkan interaksi langsung dengan hewan, dalam hal ini lumba-lumba yang sudah dilatih. Anak-anak atau orang dewasa dengan kondisi tertentu akan diajak untuk mengamati, menyentuh, memberi makan, atau bahkan berenang bersama lumba-lumba dalam sesi terapi yang berlangsung beberapa hari hingga beberapa minggu.

Pendekatan ini pertama kali dikenalkan pada tahun 1970-an oleh antropolog pendidikan Betsy Smith. Ia terinspirasi dari pengamatan terhadap saudara laki-lakinya yang menyandang disabilitas intelektual dan menunjukkan ketertarikan tinggi terhadap lumba-lumba. Sejak saat itu, terapi ini mulai dikembangkan di berbagai fasilitas, terutama di Florida, AS.

Sebagian besar klaim DAT menyebutkan bahwa interaksi dengan lumba-lumba dapat membantu meningkatkan keterampilan motorik, komunikasi, dan konsentrasi. Bahkan, ada yang menyebut sonar lumba-lumba memiliki efek penyembuhan khusus. Namun, apakah semua ini didukung oleh bukti ilmiah?

Terapi lumba lumba dengan anak autisme di Meksiko (Foto : Dok The Dolphin Co)

Peneliti Lori Marino, PhD, dari Proyek Suaka Paus dan Universitas New York, menyatakan bahwa efektivitas DAT masih sangat diperdebatkan. Dalam laporannya yang dipublikasikan oleh Association for Science in Autism Treatment (ASAT), Marino mengungkapkan bahwa banyak studi mengenai DAT tidak memiliki kontrol yang ketat dan cenderung bias.

Sebagian besar studi hanya membandingkan kondisi peserta sebelum dan sesudah terapi, tanpa memperhitungkan faktor eksternal lain seperti ekspektasi peserta atau pengaruh lingkungan. Beberapa penelitian juga hanya mengandalkan laporan subjektif dari orangtua atau terapis, yang sering kali tidak cukup valid sebagai bukti ilmiah.

Penelitian oleh Diltz et al. (2011), Griffioen et al. (2019), dan MdYusof & Chia (2012) mencoba mendemonstrasikan dampak positif DAT, namun tetap dianggap memiliki kelemahan metodologis. Masalah umum yang ditemukan adalah ukuran sampel kecil, durasi studi singkat, serta kurangnya kelompok pembanding (kontrol) yang relevan.

Dalam kesimpulannya, Marino menegaskan bahwa meskipun DAT mungkin menyenangkan dan memberikan pengalaman positif bagi anak-anak, tidak cukup bukti kuat untuk merekomendasikannya sebagai intervensi klinis yang efektif bagi individu dengan autisme.

Dengan kata lain, terapi dengan lumba-lumba bisa menjadi pengalaman unik, tetapi penggunaannya sebagai bentuk terapi harus didasarkan pada pendekatan ilmiah yang kuat dan etis, termasuk mempertimbangkan kesejahteraan hewan yang terlibat. (Restu)

Sumber : Liputan6