KabarBijak

Saatnya Sistem Hukum Berbenah: Mewujudkan Keadilan untuk Penyandang Disabilitas

Sistem hukum inklusif untuk penyandang disabilitas: solusi dan langkah nyata untuk keadilan.

KamiBijak.com, Infosiana - Maraknya kasus tindak pidana yang melibatkan penyandang disabilitas, baik sebagai korban maupun pelaku, menunjukkan adanya celah besar dalam sistem hukum Indonesia. Misalnya, dalam kasus di Bandung, seorang penyandang disabilitas yang menjadi korban kekerasan seksual harus menghadapi hambatan besar dalam mendapatkan perlindungan hukum karena kurangnya fasilitas ramah disabilitas di institusi penegak hukum.

Dari minimnya akses fasilitas hingga kurangnya pelatihan aparat hukum, berbagai hambatan ini memperlihatkan bahwa keadilan yang inklusif masih menjadi tantangan besar. Artikel ini membahas sejauh mana hukum kita mendukung penyandang disabilitas dan apa yang perlu dilakukan untuk menciptakan sistem hukum yang lebih ramah.

Hambatan yang Dihadapi Penyandang Disabilitas sebagai Korban

Sulitnya Akses untuk Melapor

Penyandang disabilitas seringkali kesulitan mengakses institusi penegak hukum karena minimnya fasilitas ramah disabilitas. Kantor polisi, pengadilan, dan institusi hukum lainnya jarang menyediakan infrastruktur yang mendukung, seperti ramp, lift khusus, atau penerjemah bahasa isyarat.

Data Penting:

  • Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023, jumlah penyandang disabilitas di Indonesia mencapai 22,97 juta orang, atau sekitar 8,5% dari total populasi, namun hanya sedikit yang dapat mengakses fasilitas hukum.
  • Laporan Komnas Perempuan menunjukkan korban kekerasan seksual dari penyandang disabilitas sering menghadapi diskriminasi ganda.

Kurangnya Pelatihan Aparat Hukum

Minimnya pelatihan khusus untuk aparat hukum dalam menangani penyandang disabilitas menjadi penghalang utama keadilan. Beberapa program pelatihan telah dilakukan, namun cakupannya masih sangat terbatas dan belum merata di seluruh wilayah. Kondisi ini menunjukkan perlunya investasi lebih besar dalam pelatihan yang berfokus pada kebutuhan inklusif. Tanpa pelatihan yang memadai, aparat sering kesulitan memberikan pendampingan psikologis yang sesuai.

Contoh Kasus: Dalam sebuah kasus kekerasan seksual di Bandung, korban penyandang disabilitas hamil akibat perbuatan beberapa pelaku. Pendampingan hukum yang tidak memadai menunjukkan adanya kebutuhan mendesak untuk peningkatan kapasitas aparat dan penyediaan fasilitas ramah disabilitas.

Tantangan untuk Penyandang Disabilitas sebagai Pelaku

Stigma Masyarakat

Stigma terhadap penyandang disabilitas sering kali memperburuk posisi mereka dalam kasus hukum. Persepsi bahwa pelaku adalah individu yang tidak membutuhkan pendekatan khusus membuat mereka rentan terhadap vonis yang tidak adil.

Minimnya Mekanisme Peradilan yang Inklusif

UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas mengatur hak-hak penyandang disabilitas, termasuk di sektor hukum. Misalnya, Pasal 5 menyebutkan bahwa penyandang disabilitas memiliki hak untuk mendapatkan akses keadilan, sementara Pasal 16 mengatur hak penyandang disabilitas untuk mendapatkan kemudahan akses, perlakuan, dan akomodasi yang layak, termasuk dalam kegiatan seni, budaya, dan pariwisata. Namun, akses informasi melalui bahasa isyarat sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) huruf m UU 8/2016 dalam proses peradilan tetap menjadi kebutuhan yang mendesak untuk memastikan akses keadilan.

Ketentuan ini menjadi dasar penting untuk memastikan sistem hukum lebih inklusif. Namun, implementasinya masih jauh dari harapan. Di sisi positif, beberapa lembaga mulai membangun mekanisme rehabilitasi, meskipun masih terbatas cakupannya. Misalnya, pengadilan tertentu di Jakarta mulai menyediakan penerjemah bahasa isyarat secara sporadis.

Pandangan Ahli: Dr. Andi Prasetyo, Direktur Pusat Studi Disabilitas Universitas Indonesia, menegaskan bahwa “sistem peradilan pidana kita belum sepenuhnya ramah terhadap kelompok rentan.”

Kebijakan dan Kerangka Hukum yang Ada

UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas

Undang-undang ini mewajibkan pemerintah menyediakan aksesibilitas, termasuk di sektor hukum. Namun, implementasi di lapangan masih jauh dari ideal. Contohnya, beberapa pengadilan negeri di Indonesia masih belum memiliki penerjemah bahasa isyarat yang konsisten untuk membantu penyandang disabilitas mendengar. Di sisi lain, program pelatihan untuk aparat hukum seperti di Jakarta yang sempat diadakan oleh LBH menunjukkan potensi perbaikan jika diberlakukan secara nasional, meskipun saat ini cakupannya masih terbatas.

Upaya yang Diperlukan

  • Pelatihan Khusus untuk Aparat Hukum: Membekali aparat dengan pengetahuan dan keterampilan untuk menangani penyandang disabilitas.
  • Peningkatan Infrastruktur: Membangun fasilitas ramah disabilitas di kantor polisi, pengadilan, dan lembaga penahanan.
  • Edukasi Masyarakat: Mengurangi stigma terhadap penyandang disabilitas melalui kampanye publik

Kesimpulan

Sistem hukum kita masih memiliki banyak pekerjaan rumah untuk menjadi inklusif terhadap penyandang disabilitas. Mulai dari pelatihan aparat, penyediaan fasilitas yang memadai, hingga pengembangan kebijakan yang berpihak pada kelompok rentan, semua ini harus menjadi prioritas.

Keadilan inklusif bukan hanya tanggung jawab pemerintah. Organisasi masyarakat sipil, sektor swasta, dan masyarakat luas dapat berperan aktif dalam mendukung terciptanya keadilan ini. Masyarakat dapat berkontribusi dengan mendukung kampanye inklusivitas, mendorong kolaborasi dengan lembaga swadaya masyarakat, serta memberikan edukasi di komunitas lokal tentang kebutuhan penyandang disabilitas. Selain itu, masyarakat juga dapat berperan dengan mendorong lembaga hukum untuk meningkatkan fasilitas dan layanan yang lebih ramah disabilitas. Saatnya kita bergerak untuk mendukung penerapan hukum yang adil bagi semua. (Restu)

Sumber: kumparan.com